Demokrasi Mahal, Korupsi Merajalela: Salah Sistem atau Salah Arah?

Demokrasi Mahal, Korupsi Merajalela: Salah Sistem atau Salah Arah?

Oleh: Zulkarnain Kadir, Pengamat Hukum dan Pemerhati Birokrasi 

DEMOKRASI di Indonesia semakin hari terasa semakin mahal. Bukan hanya mahal dari sisi anggaran negara, tetapi juga mahal secara sosial, politik, dan moral. Pemilu legislatif, pilpres, hingga pilkada gubernur, bupati, dan wali kota selalu meninggalkan jejak yang sama: politik uang, sogok-menyogok, mahar partai, hingga korupsi setelah kekuasaan diraih.

Dalam kondisi ini, muncul wacana untuk “memundurkan jarum jam” demokrasi. Ada yang mengusulkan agar pemilu cukup memilih partai, bukan orang. Presiden dipilih oleh MPR, kepala daerah dipilih oleh DPRD. Alasannya sederhana: lebih murah, lebih efisien, dan dianggap bisa menekan politik uang di akar rumput.

Namun pertanyaannya, apakah itu benar-benar solusi atau justru pengalihan masalah? Murah bagi Rakyat atau Murah bagi Elite? Sejarah menunjukkan, ketika pemilihan dilakukan oleh lembaga perwakilan, biaya negara memang lebih kecil. Tapi transaksi politik tidak pernah hilang ia hanya berpindah tempat. Jika sebelumnya suara rakyat yang dibeli, maka dalam sistem tidak langsung, suara elite yang menjadi komoditas.

Politik uang tidak lenyap, hanya menjadi lebih senyap dan elitis. Rakyat justru semakin jauh dari kedaulatan, sementara kekuasaan terkonsentrasi pada segelintir orang. Demokrasi mungkin tampak murah di atas kertas, tetapi mahal dalam bentuk hilangnya kontrol publik.

Akar Masalah: Kemiskinan dan Rendahnya Pendidikan Politik

Masalah utama demokrasi mahal bukanlah pemilihan langsung itu sendiri, melainkan kondisi sosial-ekonomi rakyat dan sistem politik yang dibiarkan bocor. Selama ekonomi rakyat lemah, suara akan selalu punya harga. Selama pendidikan politik rendah, janji, bansos sesaat, dan amplop akan lebih dipercaya daripada visi, rekam jejak, dan integritas.

Dalam konteks ini, menyalahkan rakyat karena “mudah dibeli” adalah bentuk kemalasan berpikir negara. Yang gagal bukan rakyat, tetapi sistem yang tidak memberi mereka pilihan rasional dan perlindungan dari praktik curang.

Pemilihan Langsung Bisa Murah Jika Serius Dibangun

Pemilihan langsung sejatinya bisa dibuat lebih murah dan lebih bersih apabila negara benar-benar membenahi sistemnya. Digitalisasi pemilu melalui e-voting yang aman dan transparan, pembatasan ketat biaya kampanye, audit dana kampanye secara real time, serta penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu adalah kunci.

Di banyak negara, teknologi justru memangkas biaya demokrasi, bukan sebaliknya. Masalahnya, di Indonesia, sistem yang mahal dan rumit justru menguntungkan banyak pihak. Demokrasi mahal telah berubah menjadi ladang investasi politik: modal besar dikeluarkan saat pemilu, lalu “dikembalikan” ketika kekuasaan sudah di tangan. Di titik inilah korupsi lahir dan tumbuh subur.

Jangan Mundur, Tapi Perbaiki

Jika demokrasi hari ini bermasalah, solusinya bukan menarik kembali hak pilih rakyat ke tangan elite. Solusinya adalah memajukan ekonomi rakyat, meninggikan pendidikan, dan memperketat sistem politik secara menyeluruh. Demokrasi memang mahal. Namun korupsi jauh lebih mahal. Dan yang paling mahal dari semuanya adalah ketika rakyat kehilangan hak memilih, harapan akan perubahan, dan kepercayaan pada negara.**

#Pemerintahan

Index

Berita Lainnya

Index