Oleh Zulkarnain Kadir Pengamat Hukum dan Pemerhati Birokrasi
DI INDONESIA, menjadi pejabat terasa seperti posisi paling aman di dunia. Salah kebijakan, gagal menjalankan tugas, bahkan ketika bencana menelan lebih dari seribu korban jiwa dan ratusan lainnya hilang, nyaris tak ada satu pun pejabat yang merasa perlu bertanggung jawab secara moral.
Tak usah bicara soal mengundurkan diri. Kata maaf saja sering terdengar mahal.
Bandingkan dengan Jepang atau Korea Selatan. Di sana, pejabat mundur bukan karena sudah divonis bersalah, tetapi karena merasa gagal menjalankan amanah. Budaya malu masih hidup. Etika mendahului hukum. Jabatan dipandang sebagai kehormatan, bukan sekadar kekuasaan.
Di negeri ini, justru sebaliknya.
Korban sudah berjatuhan, rakyat kehilangan rumah, mata pencaharian lenyap, namun pejabat sibuk bersembunyi di balik prosedur dan kalimat normatif. Bahkan ketika status tersangka sudah disematkan, masih ada yang bertahan dengan dalih azas praduga tak bersalah.
Padahal azas itu adalah prinsip hukum, bukan tameng moral.
Mengundurkan diri bukan berarti mengaku kriminal. Mengundurkan diri adalah pengakuan bahwa amanah tidak dijalankan dengan baik. Itu bentuk tanggung jawab, bukan kekalahan. Sayangnya, di Indonesia, mundur dianggap aib politik, bukan kehormatan.
Inilah masalah besar kita: bukan hanya soal korupsi atau kelalaian, tetapi hilangnya rasa malu dalam kekuasaan. Jabatan diperlakukan sebagai hak, bukan titipan. Kekuasaan dianggap hadiah politik, bukan beban tanggung jawab.
Selama pejabat merasa selalu benar, selalu kebal, dan tak pernah salah meski rakyat menderita, maka bencana baik alam maupun sosial akan terus berulang.
Dan seperti biasa, yang menanggung akibatnya bukan mereka yang berkuasa, melainkan rakyat kecil. Negeri ini tidak kekurangan aturan. Yang langka adalah pemimpin yang tahu diri. Secara kultural, Indonesia punya budaya malu. Bahkan sangat kuat sejak dulu.
Budaya malu dalam masyarakat Indonesia
Di banyak daerah, rasa malu (isin, sirik, malu kampuang, malu suku) dulu jadi alat kontrol sosial. Malu berbuat aib di kampung. Malu mencoreng nama keluarga. Malu kalau janji tak ditepati. Malu kalau hidup dari uang haram. Orang tua mendidik anak bukan dengan hukum, tapi dengan kalimat: “Jangan buat malu keluarga.” Artinya: malu dulu, hukum belakangan.
Lalu kenapa sekarang terasa hilang? Budaya malu tidak hilang, tapi tersingkir oleh sistem dan praktik kekuasaan. Beberapa penyebab utamanya, politik biaya mahal, jabatan dianggap investasi kekuasaan tanpa sanksi moral, salah pun tetap aman Institusi partai dan elite tidak memberi teladan. Hukum dijadikan pembenaran, bukan keadilan
Akibatnya, rasa malu kalah oleh rasa aman.
Budaya malu masih hidup, tapi di mana? Ironisnya, budaya malu masih kuat di rakyat biasa. Guru honorer malu minta lebih. Petani malu berutang. Pedagang kecil malu menipu timbangan. Tapi ketika naik ke level elite. Salah klarifikasi, gagal pencitraan, tersangka bertahan, rakyat menderita diam.
Di sinilah terjadi kesenjangan etika. Jepang, Korea, dan perbedaan mendasar Jepang dan Korea tidak sekadar punya hukum tegas. Tapi malu adalah sanksi sosial terberat. Kehormatan pribadi lebih penting dari jabatan. Mundur dianggap menjaga martabat. Di Indonesia, justru bertahan dianggap kuat. Mundur dianggap kalah. Malu dianggap kelemahan. Budaya malu bukan tidak ada di Indonesia. Yang hilang adalah budaya malu dalam kekuasaan. Selama jabatan lebih penting dari martabat Kekuasaan lebih penting dari empati. Dan elite tak pernah merasa cukup salah untuk mundur, maka budaya malu akan tetap hidup di rakyat, tapi mati di istana dan kantor-kantor kekuasaan.**