Iniriau.com. JAKARTA - Perhimpunan Dokter Paru Indonesia menegaskan bahwa saat ini ada sejumlah kombinasi cara pengobatan untuk pasien COVID-19. Sebab kombinasi ini disesuaikan dengan protokol tata laksana pengobatan COVID-19 sekaligus kondisi pasien itu sendiri.
"Kita mengobati pasien berdasarkan kondisi," ujar Ketua PDPI, Agus Dwi Santoso, dalam talkshow daring pada Selasa (18/8). "Itu dimulai dari kondisi tanpa gejala, gejala ringan, kondisi gejala sedang, pneumonia berat hingga kritis."
Untuk pasien COVID-19 tanpa gejala, dijelaskan oleh Agus, hanya perlu diberikan vitamin dan obat-obatan yang sifatnya immunomodulator alias untuk menstimulus pertahanan imun secara alamiah. Obat-obatan itu bisa bersifat tradisional atau obat modern.
"Tentunya menggunakan obat-obatan yang telah mendapat izin edar di indonesia. Ini sifatnya sebagai suportif pasien tanpa gejala," tutur Agus, seperti dilansir dari Kontan, Rabu (19/8).
Sementara untuk pasien dengan gejala ringan, sedang, dan berat akan diberikan empat kombinasi pilihan obat. Adapun obat-obatan yang dimaksud adalah Azitromisin, Klorokuin, Oseltamivir, Faviparavir, Lopinavir, dan Ritonavir.
Penggunaan obat ini, imbuh Agus, telah disesuaikan dengan pedoman yang disusun berdasarkan sejumlah literatur dan kajian kedokteran. Dari empat kombinasi yang ada, kombinasi pertama sampai ketiga lah yang paling banyak digunakan.
"Sementara itu kombinasi keempat tidak digunakan," jelas Agus. "Sebab, ada Remdesivir yang saat ini tidak tersedia di Indonesia."
Kombinasi ini sudah digunakan untuk mengobati pasien COVID-19 sejak awal wabah merebak di Indonesia. Dan sampai saat ini kombinasi pengobatan itu tetap dilakukan.
Metode pengobatan seperti ini, dijelaskan Agus, sudah menunjukkan dampak positif. Berdasarkan data pasien di RS Darurat COVID-19 Wisma Atlet, sebanyak 99,3 persen pasien dengan gejala ringan sudah dinyatakan sembuh. Bahkan tingkat kesembuhan di RS Persahabatan sampai 100 persen.
"Untuk pasien dengan kasus sedang ada 96,4 persen yang sembuh," imbuh Agus. "Kalau kasus berat tingkat kesembuhannya kecil. Untuk kasus kritis sebanyak 79,6 persen pasien meninggal dunia."**
Sumber: Wowkeren